Senin, November 05, 2007

Harta Karun untuk Semua oleh Dewi Lestari

Renungan Bagus dari Mba DIE,

Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari HYPERLINK " <http://amazon./>http://amazon./ com/" \nAmazon.com datang. Ada satu buku yang langsung sayasambar dan baca seketika. Judulnya: "Stuff - The Secret Lives of EverydayThings". Buku itu tipis, mhanya 86 halaman, tapi informasi di dalamnyabercerita tentangperjalanan ribuan mil dari mana barang-barang kita berasal dan ke manabarang-barang kita berakhir. Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa plastik memakan wakturatusan tahun untuk musnah, saya sering merenung: orang gila mana yangmencipta sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi masa penggunaannya hanyadalam skala jam-bahkan detik? Bungkus permen yang hanya bertahan sepuluhdetik di tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah dan baru hancursetelah si pemakan permen menjadi fosil. Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa plastik, tanpa cat, tanpadeterjen, tanpa karet, tanpa mesin, tanpa bensin, tanpa fashion. Dan sebagaikonsumen dalam sistem perdagangan modern, sejak kita lahir rantaipengetahuan tentang awal dan akhir dari segala sesuatu yang kita konsumsitelah diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau tahu ke manakemasan styrofoam yang membungkus nasi rames kita pergi, berapa banyak pohonyang ditebang untuk koran yang kita baca setengah jam saja, beban polutanyang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabi-buta. Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa berpikir, yang terasawajar-wajar saja, pernahkah kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kitabisa menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat berat tubuh kitasendiri? Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk mencucisecangkir kopi, kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu lapis dagingburger yang mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar 2,400 literair. Produksi satu set PC seberat 24 kg yang parkir di atas meja kerja kitamenghasilkan 62 kg limbah, memakai 27,594 liter air, dan mengonsumsi listrik2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang bekerja di dalamnya? Limbah yangdihasilkan untuk memproduksinya 4,500 kali lipat lebih berat daripada beratchip itu sendiri. Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan berbagai reaksi.Kita bisa frustrasi karena terjepit dalam ketergantungan gaya hidup yang takbisa dikompromi, kita bisa juga semakin apatis karena tidak mau pusing. Yang jelas, sesungguhnya ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya dibuka. Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang daun dan membedah jantungkatak, dapat dibuat lebih empiris dengan mempelajari hulu dan hilir daribenda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung jawab akan alam initelah disosialisasik an sejak kecil. Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung FO empat lantai,PasarBaru, atau berjalan-jalan ke Gasibu pada hari Minggu di mana ada LautanPKL: tidakkah semua baju dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupanpenduduk satu kota ? Tapi kenapa barang-barang ini tidak ada habisnyadiproduksi? Setiap hari selalu ada jubelan pakaian baru yang menggelontoripasar. Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki hypermarket dan melihatratusan macam biskuit, ratusan varian mie instan, dan ratusan merk sabun:haruskah kita memiliki pilihan sebanyak itu? Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan sesungguhnya jauh melebihiapa yang kita butuhkan? Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalamsetahun, bahkan lebih.Atas nama fashion, jumlah itu menjadi tidak berbatas.Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa pilihanpanganan dalam sehari. Atas nama selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan sanggup memenuhi keinginansatu manusia. Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai kaca mata. Seorang ekonommungkin akan menyalahkan sistem kapitalisme dan globalisasi. Seorangsosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan pemerataan. Tapi jikakita runut, satu demi satu, bahwa Bumi adalah kumpulan negara, negara adalahkumpulan kelompok, dan kelompok adalah kumpulan individu, permasalahan iniakan kembali ke pangkuan kita. Dan kesadaran serta kemauan kitalah yang padaakhirnya akan memungkinkan sebuah perubahan sejati. Belum pernah dalam sejarah kemanusiaan keputusan harian kita menjadi sangatmenentukan. Tidak perlu menunggu Amerika menyepakati protocol Kyoto, tidakperlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap, setiap langkah kita-memilihmerk, kuantitas, tempat, gaya hidup-adalah pilihan politis dan ekologis yangmenentukan masa depan seisi Bumi. Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah instrumen saya bekerja,tapi saya bisa lebih awas dengan jam penggunaan dan mematikannya jika tidakperlu. Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan informasi, tapi saya bisamemilih membaca berita lewat internet atau membaca koran di tempat publikketimbang berlangganan langsung. Bagaimana dengan fashion? Di dunia citraini, dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di muka publik, saya punbelum bisa mengorbankan keperluan fashion (baca: membeli busana lebih seringdari yang dibutuhkan), tapi saya bisa membuat komitmen dengan lemaripakaian, yakni baju yang saya miliki tidak boleh melebihi kapasitas lemarisaya. Jika lebih, maka harus ada yang keluar. Dan setiap beberapa bulan sayadihadapkan pada kenyataan bahwa ada baju yang tidak saya pakai setahun lebihatau baju yang cuma sekali dipakai dan tak pernah lagi. Bukan cuma baju, adajuga buku, pernik rumah, alat dapur, bahkan sabun dan sampoyang utuh tak disentuh. Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti 'harta karun', yangberisikan barang-barang yang harus keluar dari peredaran, karena jikadipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi unsur manfaat. Harta karunini lantas harus dicarikan lagi outlet untuk penyaluran. Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan bazaar.Para warga menyewa stand untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dansayalah satu-satunya penjual barang bekas di antara penjual barang-barubaru. Karena bukan demi cari untung, barang-barang itu saya lepas denganharga sangat murah. Yang membeli bukan cuma warga kompleks, tapi juga darikampung sekitar. Hari pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksa sayamengontak saudara-saudara saya yang barangkali juga punya barang bekas untukdisalurkan. Sama dengan saya, mereka pun punya timbunan harta karun yangentah harus diapakan. Stand saya menjadi salah satu stand paling larisselama bazaar berlangsung. Dan kakak saya terkaget-kaget dengan penghasilanyang ia dapat dari tumpukan barang yang sudah dianggap sampah. Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan, ada aneka cara kreatiflain untuk memanfaatkan harta karun kita, termasuk juga disumbangkan .. Namun yang lebih sukar adalah memulai membuat komitmen-komitmen pembatasandiri. Berkomitmen dengan rak buku, dengan lemari pakaian, dengan rak kamarmandi, dengan laci dapur, dan pada intinya... dengan diri sendiri. Siapkahkita menentukan batasan dan berjalan dalam koridor itu? Dan, yang lebih susah lagi, adalah pengendalian diri dari awal bersua anekapilihan yang membombardir kita setiap hari, lalu sadar dan mawas akan rantaisebab-akibat yang menyertai pilihan kita. Membuka diri untuk info danpengetahuan ekologi adalah salah satu cara pembekalan yang baik. Walaupunsekilas tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantong kresek yang kitabuang tadi pagi tidak akan hilang oleh sihir, dan hamburger yang kita makantidak dipetik dari pohon. Rantai yang menyertai barang-barang itu tidak akanhilang hanya karena kita menolak tahu. Banyak orang yang berkomentar pada saya, " Aduh , Wi . Kamu bikin hiduptambah susah saja." Dan mereka benar. Hidup ini tak mudah. Untuk itu kitajustru harus belajar menghargai setiap jengkalnya. Memilih hidup yang lebihsederhana, hidup dengan tempo yang lebih pelan, hidup dengan pengasahankesadaran, tak hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi jugamembantu Bumi ini dan jutaan manusia yang dijadikan alas kaki oleh industridemi pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri. Lingkaran setan? Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup berubah. Selama ini kita adalah pembeli yang berlari. Dalam kecepatan tinggi kitabertransaksi, sabet sana sabet sini, tanpa tahu lagi apa yang sesungguhnyakita cari.Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan.

Tidak ada komentar: