Selasa, Januari 29, 2008

Orang Tua itu Telah Tiada

Akhirnya orang tua itu, mantan presiden Republik Indonesia kedua itu telah tiada. Sudah cukup penderitaan Pak harto selama dirawat di RS lebih dari duapuluh hari, selain juga penyakit yang dideritanya selama bertahun-tahun. Penderitaan di akhir hidupnya juga dirasakan menyaksikan demonstasi yang bertubi-tubi yang ditujukan kepadanya dan keluarganya, juga menyaksikan bercerai berainya beberapa anaknya dalam membangun keluarga dan bisnis.

Tanpa mengesampingkan tuduhan-tuduhan yang ditujukan terhadapnya dan keluarganya, khsusnya atas kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang, toh setidaknya dari sudut pandang subyektif saya, kematian Pak harto terjadi dengan terhormat. Betapa tidak, timing atas peristiwa kematian ini seolah-olah dipilihkan waktu yang tepat. Dia mati di saat penguasa negeri ini punya simpati yang besar terhadapnya, penguasa yang notabene dipilih langsung oleh rakyat. Dengan fakta itu, perlakuan terhadap jasadnya juga terhormat. Semua saluran televisi baik lokal maupun yang punya cakupan nasional dan sebagian internasional, memberitakan peristiwa ini dengan segala bentuk cara dan rupa. Kita juga dapat menyaksikan wajah jasad beliau juga seolah sedang tidur pulas dengan wajah yang berseri-seri dan tersenyum seolah sedang bermimpi indah.

Di lain pihak, tokoh-tokoh yang selama mendiang masih hidup diketahui umum punya hubungan yang kurang harmonis dengannya bahkan dinobatkan atau menobatkan diri sebagai lawan politik Suharto, secara ksatria, rendah hati memaafkan beliau. Sebutlah salah satunya AM Fatwa yang sedikitnya 2 kali harus masuk penjara karena harus menentang kebijakan rezim orde baru yang dikomandani Pak harto. Demikian juga Amien Rais, yang berpuluh-puluh tahun tidak pernah bersilaturahmi dengan keluarga pak harto tentu karena berselisih pendapat yang cenderung berotlak belakang, juga melakukan hal yang sama, di hadapan publik memaafkan semua kesalahan pak harto yang menimpanya.

Meskipun banyak juga tokoh-tokoh yang belum bisa melupakan penderitaan baik langsung maupun tidak langsung sebagai akbiat dari perlakuan rezim waktu itu. Itu wajar dan merupakan hak semua orang untuk memaafkan atau tidak. karena kita juga tidak tahu sebenarnya suharto bener-bener salah atau tidak atas suatu kejadian yang mengakibatkan penderitaan yang dimaksud.

Kembali ke kematian terhormat Pak Harto. Beberapa waktu yang lalu saya membaca baik di koran maupun di milis-milis, terdapat perlakuan yang tidak fair terhadap mantan-mantan presiden, khususnya perlakuan terhadap mendiang Pak Karno pada awal pemerintahan Orba dibandingkan dengan perlakuan terhadap mendiang Pak Harto di akhir-akhir hidupnya. Katanya ada perlakuan negara yang diskriminatif atas keduanya. Kalau menurut saya hal itu terjadi tidak secara kebetulan. Meskipun hal itu dilakukan manusia, tapi sesungguhnya itu terjadi karena Allah menghendaki. Jika Allah menghendaki menghinakan seseorang maka terjadilah, tapi jika Allah menghendaki memuliakan seseorang maka terjadilah.

Selamat jalan pak Harto, semoga jasa-jasa baikmu selama hidup di dunia diterima di sisi Allah s.w.t, sebagai amal ibadah dan pahalanya dilipatgandakan, dan semua kesalahan dan kekhilafan dapat diampuni. Demikian juga semoga keluarga yang ditinggalkan dapat tabah dan menjalani kehidupan selanjutnya dengan penuh kearifan serta dapat menjadi contoh dan manfaat bagi orang lain, yaitu pada masyarakat Indonesia pada umumnya.

Wallahu 'alam bissawab, hanya Allah yang maha tahu segala sesuatu. Dan sesungguhnya semua kejadian yang telah berlalu dapat menjadi pelajaran bagi kita yang masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup.

Wassalam.

Selasa, Januari 15, 2008

Sabar itu Nikmat; Tawakkal itu Lezat

Kita tidak dapat memaksakan sesuatu yang memang tidak dikehendaki oleh Tuhan, segala sesuatu adalah suatu ketetapan yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Jodoh, Rizki, Maut dan Nanasib semua sudah ada ketetapannya dan akan tetap menjadi rahasia Tuhan selama itu belum nyata terjadi kepada kita.

Tapi apakah kita juga harus pasif dan apatis dengan semua itu? Jawabannya ‘tidak’. Kita harus tetap ber-ikhtiar dan berdo’a dan selalu optimis bahwa semua daya upaya, ikhtiar dan do’a kita akan selalu berhasil dan dikabulkan oleh Allah, jangan pernah merasa puas dengan usaha yang telah kita lakukan dan juga jangan pernah merasa bosan. Yang terpenting adalah ikhtiar yang kita lakukan tetap pada koridor yang digariskan Allah. Janganlah melakukan ikhtiar dengan cara yang melawan hukum Allah, apalagi itu nyerempet-nyerempet dengan dosa dan bahkan menjurus kepada kemusyrikan, naudzubillahi min dza-lik.

Kalau sampai sekarang ikhtiar dan do’a kita belum terjawab dan ketetapan Allah itu ternyata lain dengan harapan kita, selalulah positif thinking atau dalam bahasa kerennya tetaplan khusnudzon (berprasangka baik) kepada Allah. Kita tidak tahu dan tidak akan pernah tahu rahasia Allah, ada apa dibalik ketidaksesuaian apa yang kita harapkan dengan apa yang menjadi ketetapan Allah, yang kita tahu hanyalah bahwa Allah akan selalu memberikan yang terbaik bagi hambanya.

Tawaqal. Kata inilah yang paling pas untuk langkah selanjutnya. Setelah ikhtiar kita lakukan dan do’a telah kita panjatkan, ber-tawaqal-lah, bahwa kita menyerahkan segala sesuatunya hanya kepada Allah, karena hanya kepada-Nya lah kita bergantung dan bersandar. Hanya karena Dialah kita ada dan hidup dengan segala kenikmatan dunia dan juga mudah-mudahan dengan seizin Allah kenikmatan akhirat juga akan kita nikmati.

Nimatilah segala sesuatu yang Allah berikan kepada kita, iman, islam, harta, jabatan, umur, kesehatan, suami, istri, anak, keluarga dan kenikmatan lainnya. Semua itu hanyalah karunia Allah yang sewaktu-waktu dapat juga dicabut/diambil dari kita. Lakukanlah yang terbaik yang kita mampu, jauhi rasa iri, dengki, rendah diri, menyombongkan diri, pamer, dan penyakit-penyakit hati lainnya. Hindarilah berfikir apa yang telah kita dapat dengan prestasi kita, tapi cobalah berfikir prestasi apa yang telah kita sumbangkan berkaitan dengan apa yang telah kita dapatkan. Terapkanlah itu dalam mengabdi kepada Allah, bekerja di suatu lembaga, menjadi anggota keluarga dan lain-lain.

Yang terakhir marilah kita selalu berdo’a agar semua ikhtiar dan do’a yang pernah kita lakukan akan selalu bernilai ibadah. Demikian semoga Allah meridhoi, amien.

Pemimpin Bukan Manager

by : purdiechandra.com

Pemimpin itu selalu berpikir meloncat-loncat dan sering membingungkan bawahannya. Melakukan hal-hal yang benar (doing the right things), berani menghadapi resiko dan memiliki motivasi untuk selalu nomor satu. Ide-ide bisnisnya orisinal, dan menaruh mata ke masa depan serta memiliki perspektif jauh ke depan penuh kepercayaan diri. Itu salah satu profil seorang pemimpin.

Walaupun banyak yang menganggap pemimpin itu menyukai segala bentuk macam tantangan, karena rasa optimis yang selalu dimilikinya. Cukup menarik buat saya. Sebab yang saya amati dan rasakan, pemimpin bukan hanya mampu menggerakan orang lain, melainkan juga berani mengambil pola pikir yang tidak populer sekalipun, mampu memberikan solusi, dan memiliki semangat untuk menjadi yang selalu terdepan.Teliti punya teliti, ternyata dalam menjalankan bisnis saat ini maupun masa datang, memang seharusnya memiliki manager leader, manager yang punya jiwa pemimpin.

Mengapa? Sebabnya adalah persaingan yang serba kompetitif, situasi bisnis yang kompleks dan sulit diramalkan keberlangsungannya, sehingga sangat dibutuhkan sosok manager seperti itu. Kalau tidak, kita akan kalah bersaing. Akibatnya, bisnis kita yang kita jalankan akan sulit maju.Saya setuju pendapat pakar manajemen yang mengatakan, kalau pemimpin itu selalu melakukan hal-hal yang benar, sementara manager hanya mampu melakukan hal-hal dengan
benar (doing the things right). Dimana, seorang pemimpin di dalam melakukan hal-hal yang benar tidak terlalu memperdulikan caranya. Itu tak terlalu penting baginya. Sebab, bagi seorang pemimpin, hal-hal yang menyangkut urusan pelaksanaan idenya itu adalah tugas manager. Pemimpin selalu berpikir loncat-loncat, dan jangkauannya seringkali panjang, bisa membingungkan bawahan untuk mengikutinya.Lain halnya dengan manager. Jangkauan ide
atau gagasannya pendek, dan wawasannya relatif kering. Kewajibannya adalah bagaimana melakukan tugasnya dengan benar.

Manager baru jalan setelah ada planning dulu, sudah ada program kerja atau prototype-nya. Wajar kalau ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya Manager itu tiruan, sementara pemimpin adalah orisinal.Itu mengingatkan, ide atau gagasan seorang pemimpin tidak pakai planning. Responsibilitasnya memang tidak setiap saat muncul. Bila ternyata ide-ide bisnisnya yang dijalankannya itu nanti benar atau salah, urusan belakangan. Baginya yang terpenting
telah menemukan ide bisnis yang cemerlang.Kita bisa juga lihat, bahwa manager dalam rangka mempertahankan proses atau kontinuitas kerjanya cenderung menerima status quo. Statusnya ingin aman-aman saja. Bahkan, kalau perlu menghindar dari resiko. Tapi sebaliknya dengan pemimpin. Ia justru menentang status quo, dan lebih berani menghadapi resiko. Perbedaan lainnya, adalah seorang manager itu suka bertanya, bagaimana dan kapan terhadap
sesuatu hal. Sedangkan, pemimpin lebih suka bertanya, apa dan mengapa.

Selain itu, pemimpin lebih terkesan ingin menjadi pribadinya sendiri, dan menguasai lingkungannya. Sementara, manager adalah "tentara baik" yang klasik, dan menyerah kepada lingkungan.Manager dalam menjalankan aktivitasnya juga sangat bergantung pada pengawasan. Dia ingin selalu mengelola dan mempertahankan bisnis yang sudah ada, serta lebih berfokus kepada sistem dan struktur.

Sementara, pemimpin lebih merupakan sosok yang justru mampu membangkitkan kepercayaan bawahanya atau relasinya. Itu sebabnya, mengapa fokus seorang pemimpin lebih kepada orang, dan bukan kepada sistem atau struktur.Oleh karena itu, jika kita sekarang berada pada posisi manager, sebaiknya tidak menafikan atau menghilangkan nuansa-nuansa atau jiwa kepemimpinan. Agar segala keputusan yang diambil tidak kering, lebih tenang dalam
menjalankan bisnis, mampu mengantisipasi hal-hal yang tak pasti, energik, antusias, memiliki integritas, tegas tapi adil, visi bisnisnya lebih jelas, dan mampu memproyeksikan bisnis ke-masa depan.***

Wong Edan

Beginilah kira-kira percakapan yang terjadi bila orang batak yang sok tahu bertemu dengan mbak-mbak bakul jamu di sebuah lingkungan kos-kosan mahasiswa.

Alkisah di suatu hari libur panjang (long weekend) di sebuah perkampungan kos mahasiwa di belakang kampus perguruan tinggi di jogja. Seorang mahasiswa etnis batak yang orang tuanya nun jauh di seberang sana, tidak punya biaya untuk pulang kampung. Jadilah dia sendirian di kosannya karena teman2nya pada pulang kampung.

Di pagi hari yang agak siang ketika dia sedang bengong ngelamun jorok, karena nggak ada temen ngobrol, di lihatlah seorang mbak-mbak bakul jamu gendong melewati depan rumah kosnya. Mbak bakul jamu, meskipun umurnya udah agak setengah tuwa alias STW, tapi menurut kriteria si mahasiswa ini, masih mak nyus untuk digodain. Diputarlah otak untuk mencari jalan menggoda si mbak ini, maka ditemukan cara jitu untuk membuat mbak itu sebagai temen ngobrol sekaligus ngegodain.

Meskipun seumur-umur dia ngga pernah dan tidak suka dengan jamu (apalagi jamu gendong), dia berpura-pura mau beli jamu gendong. Maka terjadilah dialog di bawah ini:

Mahasiswa (M) : Mbak Jamu… (dengan logat batak yang kental alias medhok sekali),

Mbak Jamu (J) : Inggih Mas… Ngundang kula? (bahasa khas mbak bakul jamu gendong asal sragen, agak ragu akan panggilan si batak ini),

M : Kesini sebentar, saya mau beli jamu…

J : Injih mas…, (jawab mbak jamu sambil jalan mendekat)…

M : Masih ada nggak jamunya?

J : Sampun telas mas…

M : ah…. Apa saja lah, pakai talas juga nggak apa apa… mau saya,..(dia pikir jamu pakai daun talas itu hal yang lumrah)

J : Ngapuntene Mas…. Sampun mboten wonten

M : Pake santen juga boleh, malah lebih gurih khan?

J : Dasar wong edan…, gerutu mbak bakul jamu.

M : Lho… mbak ini tahu dari mana saya orang medan?

J : ??%%$#@$